Jumat, Oktober 16, 2009

Tahlil dan Taraweh

Si anti Tahlil, minta Tahlilan

nah lho..
Ini kisah dari Bekasi, pinggiran kota Metropolitan Jakarta. Dalam lima tahun terakhir ini, pengalaman keagamaan orang-orang di kota besar banyak yang berubah. Mereka yang dulunya dari kampung terbiasa dengan praktek keagamaan tradisional, setelah hijrah ke Jakarta berubah. Termasuk sahabat kita yang satu ini, sebut saja Tukijan.
Dulunya Tukijan adalah jama’ah tahlilan di kampungnya. Tetapi, setelah sering mendapat ceramah dari ustad-ustad di kota, Tukijan menjadi orang yang sangat anti tahlil. Bahkan, Tukijan kini menjadi orang yang sangat sering menyerang dan menantang jama’ah yang masih setia melakukan tahlilan. Tukijan mengatakan bahwa tahlil itu bid’ah dholalah. Bid’ah yang sesat, sehingga mengerjakannya sia-sia bahkan diancam neraka. Sadis memang ucapan Tukijan. Seakan-akan dia sudah mengambil alih tugas Malaikat Rokib dan Atid, tukang catat amal baik dan buruk.
Namun suatu hari ada keluarganya yang meninggal, sikap Tukijan jadi berubah total. Ditinggal ke alam barzah anggota keluarganya membuat Tukijan melihat dunia menjadi mencekam dan dilanda kesepian yang mendalam. Tiba-tiba sontak dalam pikirannya seperti ada yang mendorong agar Tukijan datang ke Ustad yang menjadi pengurus takmir masjid tak jauh dari rumahnya. Ustad itu justru setiap malam jum’at menjadi imam tahlilan.
Kebetulan sore itu, ustad tadi menjadi imam shalat ashar. Tukijan tiba-tiba ikut wiridan keras, sampai do’a imam selesai. Setelah bersalam-salaman, jama’ah lain sudah pada pulang, Tukijan masih menunggu ustad yang pulang belakangan. “lho kok belum pulang Pak Tukijan?,” tanya ustad. “Anu .., ustad saya menunggu ustad untuk mengundang sekalian meminta ustad agar mengajak jama’ah tahlil mengadakan tahlilan malam nanti di rumah saya,” ujar Tukijan memohon pada ustad.
“Lho kok, Pak Tukijan bukannya dulu anti tahlil dan malah pernah menanyakan ke saya hukum tahlil yang dijawab sendiri Pak Tukijan bahwa hukumnya orang tahlil bid’ah,” jawab ustad dikira Tukijan tidak serius minta tahlilan di rumahnya.
“Ustad saya ini serius, saya akui dulu saya anti tahlil. Tapi sekarang sejak keluarga saya meninggal, saya tiba-tiba sangat ingin agar di rumah ada tahlilan untuk menenangkan batin saya yang sedang sedih dan kesepian,” jelas Tukijan. “Oh…, begitu. Baik, saya akan umumkan ke jama’ah tahlil agar nanti ba’da maghrib tahlilan di rumah Pak Tukijan,” ujar ustad.
Tukijan bercerita, dirinya menjadi anti tahlil karena didoktrin oleh ustadnya yang anti tahlil. Namun, begitu anggota keluarganya meninggal, Tukijan menjadi sangat antusias untuk mengadakan tahlilan di rumahnya.
Bagi Tukijan, pengalaman yang dialami sekarang ini, menjadikan tahlil kematian sangat perlu. Tahlilan berfungsi untuk menghilangkan kesepian, perasaan sedih dapat terlupakan karena sibuk melayani tamu dan ikut berdzikir yang akan membawa ketenangan. “Kami bersyukur, ketika dilantunkan do’a kepada keluarga kami, agar diampuni dosanya dan diterima pahalanya, kami sekarang menjadi lebih tenang,” cerita Tukijan.
Tukijan juga menceritakan, tahlilan kematian berdampak positif terhadap emosional keluarga yang ditinggalkannya. Karena dengan banyaknya jama’ah tahlil yang hadir tiap malam sampai tujuh hari, dapat menjadi obat kesepian dan bisa melupakan kesedihan yang dialami.
Ustad lalu menjelaskan, “Pak Tukijan, memang tahlil dan kenduri kematian tidak hanya semata-mata budaya, tetapi berdimensi social, mengandung muatan ibadah dengan berdzikir akan semakin dekan dengan Allah dan menjadikan hati lebih tenang,” jelas ustad.
Memang sedikit merepotkan, lanjut ustad, karena harus keluar belanja untuk menjamu mereka yang ikut tahlil. Namun, jika diniatkan sedekah dan pahalanya dihadiahkan pada si mayit, insya Allah menjadi ibadah. Sebagaimana hadits : “Dari ‘Aisyah : Sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad SAW dia berkata : Sesungguhnya ibuku telah meninggal tiba-tiba, saya kira kalau ia dapat bicara sebelum meninggal, tentu ia akan bersedekah. Apakah ibu saya akan dapat pahala, jika saya bersedekah menggantikannya?’ Jawab Nabi SAW : “Ya” (HR. Imam Muslim, juz XI hal 84)
Berdasarkan hadits tersebut, Imam Nawawi menjelaskan bahwa dibenarkan bersedekah yang kemudian pahalanya disampaikan kepada yang sudah meninggal, bahkan dianjurkan.
(Mukhlas Syarkun)

Rokaat Shalat Tarawih ?



ngikut yang mana ya..
Ini kisah di sebuah perumahan yang baru saja membuat masjid, penduduk perumahan itu berbagai macam aliran dan golongan, pada suatu hari rapat persiapan menghadapi Bulan Ramadhan, maka terjadilah musyawarah dan perdebatan sengit ketika menyinggung soal tarawih.
Perdebatannya menyangkut masalah, apakah shalat tarawih dilakukan 8 dan 3 witir atau 20 dan 3 witir? Maka salah satu peserta rapat itu angkat tangan dan menyatakan bahwa kalau menurut Nabi, maka tarawih dijalankan 8 rakaat dan 3 witir!, dengan 4 rakaat, 4 rakaat dan 3 witir. “Ini berdasarkan hadits bahwa Nabi shalat di malam Ramadhan dan selain Bulan Ramadhan sebanyak 11 rakaat dengan 4 salam dan 4 salam dan 3 witir. Jadi yang lain seperti shalat tarawih 8 yang dilakukan 2,2,2,2 dan 3 witir atau 20 rakaat dengan 2 rakaat salam adalah tidak mengikut Nabi jadi bid’ah dan bid’ah itu masuk neraka !!!” pernyataan ini kontan menimbulkan reaksi keras.
Kemudian ada yang angkat tangan, saya keberatan kalau selain 4,4 dan 3 adalah bid’ah, sebab selama ini 2,2,2,2 dan 3 witir sudah dilakukan oleh banyak masyarakat dan bahkan dosen-dosen dan tokoh-tokoh Islam banyak yang menjalankan tarawih, jadi saya keberatan kalau selain 4,4 dan 3 witir dikatakan bid’ah, saya justru usulkan 2,2,2,2 dan 3 witir 1 salam aja. Usul jama’ah.
Kemudian Pak RW yang kebetulan pimpinan rapat melempar kepada floor. “Bagaimana apa kita laksanakan 8 rakaat dengan 2,2,2,2 dan 3 witir atau 4,4 dan 3 witir sebagaimana hadits tersebut, atau ada pendapat lain?”
Kemudian ada salah satu yang usul : “Begini, kalau di kampung saya 20 rakaat dan 3 witir, seperti juga di TV (maksudnya siaran langsung tarawih yang pernah disiarkan RCTI dari Masjidil Haram). Jadi saya usul 20 rakaat seperti di Masjidil Haram saja.
Kemudian Pak RW yang kebetulan memimpin rapat menyatakan : “Apa ada pendapat lain?”. “Saya mohon izin untuk klarifikasi pak?”. “Silahkan” jawab Pak RW. “Begini saya mau mempertanyakan hadits tersebut sebagai hujjah (dalil) tarawih. Pertama : bahwa hadits tersebut tidak menyebut istilah tarawih, mengapa kemudian diseret-seret menjadi hujjah (dalil) shalat tarawih?, apa justru ini tidak bid’ah? Kedua : hadits tersebut disebutkan dilakukan di Bulan Ramadhan dan di luar Bulan Ramadhan, jadi artinya bukan shalat tarawih dong, tapi mengapa dijadikan landasan shalat tarawih. Jadi itu shalat malam yang dilakukan oleh Nabi SAW yang dilakukan di Bulan Ramadhan atau di bulan selain Ramadhan, sedangkan kita ini mau membahas tentang shalat tarawih yang hanya dilakukan di Bulan Ramadhan jadi gak nyambung?”.
Suasana menjadi agak tegang karena telah terjadi perdebatan sengit dan bahkan saling membid’ahkan. Salah satu jama’ah kebetulan seorang Kiai jebolan pesantren berkomentar : “Begini ijinkan kami sedikit cerita tentang sejak kapan shalat tarawih dilakukan?. Sebenarnya pada jaman Nabi sampai Abu Bakar belum ada istilah shalat tarawih dan juga belum ada shalat tarawih berjama’ah sebagaimana yang sekarang lazim dilakukan oleh Umat Islam, baru pada zaman khalifah Umar bin Khattab karena didorong oleh semangat Umat Islam menyambut bulan bulan suci yang penuh ampunan, maka diisilah dengan ibadah-ibadah seperti shalat, sedekah baca al-Qur’an dan lain-lain. Ketika itu Umat Islam setelah shalat isya’ masing-masing shalat sendri-sendiri dengan rakaat yang juga berbeda-beda jumlahnya sesuai dengan kemampuan.
Melihat realita itu, maka Umar bin Khattab mengambil inisiatif, kalau begitu kita shalat berjama’ah dan rakaatnya kita tentukan 20 serta dilakukan secara berjama’ah dengan suasana yang santai (tarawih). Keterangan ini ada dalam kitab shahih. Jadi shalat tarawih itu shalat malam dan rakaatnya tidak ada batasan yang baku, sehingga pada masa sahabat jumlahnya 20 rakaat, sedangkan pada jaman Umar bin Abdul Aziz jumlahnya 36 rakaat dan juga ada yang 40 rakaat. Artinya tergantung kemampuannya, tentu siapa yang banyak rakaatnya dan khusu’ serta ikhlas, maka banyak pahalanya. Jadi jangan mudah mengatakan bid’ah sebelum mengerti persoalannya secara mendalam. “Oh… begitu to…,” jawab jama’ah serempak.
Kemudian kiai meneruskan penjelasannya, : “Jadi, jelas kalau shalat tarawih 20 rakaat itu mengikuti ijma’ sahabat sebagaimana di Masjidil Haram sampai sekarang, begitu juga shalat tarawih 36 rakaat mengikuti Umar bin Abdul Aziz. Cuma yang shalat tarawih 8 rakaat baik 4,4 atau yang 2,2,2,2 ini saya bingung, ikut siapa ya?, ngakunya ikut Nabi, padahal tidak ada hadits yang jelas menerangkan jumlah rakaat shalat tarawih. Namun demikian, juga tak jadi masalah jika itu diniatkan Qiyamul lail (shalat malam) untuk ihya’ (menghidupkan) malam Bulan Ramadhan dan mengharap rahmat, yang penting jangan membid’ahkan dan mengaku sok ngerti dan sok ngikut Nabi. Hati-hati mengutarakan dalil jangan asal dengar, sebab bid’ah itu bisa masuk neraka, masak gara-gara shalat tarawih 20 rakaat masuk neraka. Lha wong yang gak tarawih saja tidak apa-apa,” tegas Kiai, yang kemudian disambut koor jama’ah : “Setujuuu…!!!!!”.
(Mukhlas Syarkun)
Sumber : Majalah Risalah NU no.5

Kiai Kampung Lawan Jama’ah Usroh


Kisah ini menimpa keluarga tokoh NU yang meninggal dunia. Namun diantara keluarganya, yaitu keponakannya adalah seorang terpelajar di Bandung. Maklum, sejak kecil anak tersebut sekolahnya selalu di sekolah umum dan belum mengenyam pendidikan madrasah apalagi pesantren. Ketika melanjutkan ke universitas, dia bergabung dengan komunitas kampus mengikuti usrah di masjid kampus, bahkan sempat menjadi aktivis salah satu partai Islam.
Dia mendapat pengetahuan agama dari ‘usrah-‘usrah di kampus. Entah mengapa dia terlalu PD dan tampil meyakinkan. Seolah-olah dia telah menguasai banyak hal tentang masalah keagamaan. Hal ini terlihat dengan sikap dan bicaranya di hadapan orang kampung dan keluarganya. Dia dengan yakin dan PD sering mem-bid’ah-kan dan menyesatkan orang-orang kampung, bahkan pada keluarganya yang sedang mendo’akan si mayit.
Menurutnya mendo’akan kepada orang mati itu tidak akan sampai dan hukumnya adalah bid’ah, haram, dan masuk neraka. Mendengar ucapan itu orang-orang kampung dan keluarganya menjadi masygul. Sambil berbisik-bisik orang kampung mengatakan: “Anak ini pelajar tetapi kok kurang ajar ya! Sudah diam saja tak usah ditanggapi,” ujar orang kampung yang lain.
“Ayo kita teruskan baca tahlil, ndak usah didengar,” sahut yang lain.
Setelah orang kampung selesai membaca tahlil dan do’a, anak muda aktivis kampus itu kemudian sambil berkata: “Apa yang dikerjakan oleh bapak-bapak sekalian itu sia-sia, bahkan berdosa karena mengamalkan bid’ah”.
Kemudian kiai yang memimpin tahlil dengan tenang menanggapi ucapan anak muda tadi dan berkata: “Hai mas, apa yang kami amalkan ini bukanlah tanpa dasar. Kemudian beliau menerangkan sebuah hadits. Dalam hadits itu dijelaskan bahwa pada suatu hari Nabi berjalan-jalan dengan para sahabat, tiba-tiba Nabi berhenti di sebuah maqbarah (komplek kuburan), Nabi menangis. Kemudian mendo’akan dan menancapkan pelepah kurma di atas kuburan tersebut.” Kiai melanjutkan perkataannya: “Nah, kalau pelepah kurma saja bisa mendo’akan, apalagi kita sebagai manusia,” ujar Kiai.
Selain itu, kata kiai, do’a yang dibaca ketika shalat jenazah (allahummaghfir lahuu warhamhuu wa’aafihii wa’fu ‘anhu) adalah do’a yang isinya mendo’akan yang mati agar mendapat ampunan. Jadi kalau tidak sampai, tidak mungkin Rasulullah SAW mengajarkan do’a itu.
Anak muda itu terlihat kaget. Kemudian dengan rasa bersalah menjawab, “Jadi ada dalilnya toh… dan Nabi juga melakukan serta memerintahkan membaca do’a dalam shalat jenazah?,” tanya anak muda itu. “Iya, kenyataannya seperti itu,” jawab kiai. Kemudian kiai itu menerangkan: “Jad apa yang kami lakukan ada dasarnya, makanya jangan asal tuduh bid’ah,” tegas kiai.
“Tetapi ustadz saya berkali-kali menerangkan bahwa mendo’akan orang mati sebagaimana yang dilakukan orang kampung itu adalah sesat dan masuk neraka serta tidak ada haditsnya, tetapi kenyataannya ada haditsnya?,” tanya anak muda itu. Kemudian kiai menjawab: “…ya saya nggak ngerti ustadz adik itu benar-benar mengerti agama atau politisi yang menyamar jadi ustadz, makanya kalau belajar agama belajarlah pada yang mengerti jangan belajar agama pada politisi,” nasihat kiai pada anak muda itu. Anak itu terdiam dan akhirnya jama’ah bubar.
(Mukhlas Syarkun)
Sumber : Majalah Risalah NU no.4

Kiai Kampung Lawan Santri Liberal


Inilah kisah kiai kampung. Kebetulan kiai kampung ini menjadi imam musholla dan sekaligus pengurus ranting NU di desanya. Suatu ketika didatangi seorang tamu, mengaku santri liberal, karena lulusan pesantren modern dan pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Tamu itu begitu PD (Percaya Diri), karena merasa mendapat legitimasi akademik, plus telah belajar Islam di tempat asalnya. Sedang yang dihadapi hanya kiai kampung, yang lulusan pesantren salaf.
Tentu saja, tujuan utama tamu itu mendatangi kiai untuk mengajak debat dan berdiskusi seputar persoalan keagamaan kiai. Santri liberal ini langsung menyerang sang kiai: “Sudahlah Kiai tinggalkan kitab-kitab kuning (turats) itu, karena itu hanya karangan ulama kok. Kembali saja kepada al-Qur’an dan hadits,” ujar santri itu dengan nada menantang. Belum sempat menjawab, kiai kampung itu dicecar dengan pertanyaan berikutnya. “Mengapa kiai kalau dzikir kok dengan suara keras dan pakai menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan segala. Kan itu semua tidak pernah terjadi pada jaman nabi dan berarti itu perbuatan bid’ah,” kilahnya dengan nada yakin dan semangat.
Mendapat ceceran pertanyaan, kiai kampung tak langsung reaksioner. Malah sang kiai mendengarkan dengan penuh perhatian dan tak langsung menanggapi. Malah kiai itu menyuruh anaknya mengambil termos dan gelas.
Kiai tersebut kemudian mempersilahkan minum, tamu tersebut kemudian menuangkan air ke dalam gelas. Lalu kiai bertanya: “Kok tidak langsung diminum dari termos saja. Mengapa dituang ke gelas dulu?,” tanya kiai santai. Kemudian tamu itu menjawab: Ya ini agar lebih mudah minumnya kiai,” jawab santri liberal ini. Kiai pun memberi penjelasan: “Itulah jawabannya mengapa kami tidak langsung mengambil dari al-Qur’an dan hadits. Kami menggunakan kitab-kitab kuning yang mu’tabar, karena kami mengetahui bahwa kitab-kitab mu’tabarah adalah diambil dari al-Qur’an dan hadits, sehingga kami yang awam ini lebih gampang mengamalkan wahyu, sebagaimana apa yang engkau lakukan menggunakan gelas agar lebih mudah minumnya, bukankah begitu?”. Tamu tersebut terdiam tak berkutik.
Kemudian kiai balik bertanya: “Apakah adik hafal al-Qur’an dan sejauhmana pemahaman adik tentang al-Qur’an? Berapa ribu adik hafal hadits? Kalau dibandingkan dengan ‘Imam Syafi’iy siapa yang lebih alim?” Santri liberal ini menjawab: Ya tentu ‘Imam Syafi’iy kiai sebab beliau sejak kecil telah hafal al-Qur’an, beliau juga banyak mengerti dan hafal ribuan hadits, bahkan umur 17 beliau telah menjadi guru besar dan mufti,” jawab santri liberal. Kiai menimpali: “Itulah sebabnya mengapa saya harus bermadzhab pada ‘Imam Syafi’iy, karena saya percaya pemahaman Imam Syafi’iy tentang al-Qur’an dan hadits jauh lebih mendalam dibanding kita, bukankah begitu?,” tanya kiai. “Ya kiai,” jawab santri liberal.
Kiai kemudian bertanya kepada tamunya tersebut: “Terus selama ini orang-orang awam tatacara ibadahnya mengikuti siapa jika menolak madzhab, sedangkan mereka banyak yang tidak bisa membaca al-Qur’an apalagi memahami?,” tanya kiai. Sang santri liberal menjawab: “Kan ada lembaga majelis yang memberi fatwa yang mengeluarkan hukum-hukum dan masyarakat awam mengikuti keputusan tersebut,” jelas santri liberal.
Kemudian kiai bertanya balik: “Kira-kira menurut adik lebih alim mana anggota majelis fatwa tersebut dengan Imam Syafi’iy ya?.”. Jawab santri: “Ya tentu alim Imam Syafi’iy kiai,” jawabnya singkat. Kiai kembali menjawab: “Itulah sebabnya kami bermadzhab ‘Imam Syafi’iy dan tidak langsung mengambil dari al-Qur’an dan hadits,”.” Oh begitu masuk akal juga ya kiai!!,” jawab santri liberal ini.
Tamu yang lulusan Timur Tengah itu setelah tidak berkutik dengan kiai kampung, akhirnya minta ijin untuk pulang dan kiai itu mengantarkan sampai pintu pagar.
(Mukhlas Syarkun)

(Kiat Menghadapi GAM, GAT & GAB)


Kiai Fahrur Razi Iskak didatangi segerombolan berjenggot dan bercelana cingkrang. Mereka sengaja mendatangi Kiai Razi, mau mengajak debat masalah khilafiyah, terutama tentang tahlil. Sang Kiai lalu diberondong dengan sejumlah pertanyaan. “Kiai kok melakukan pekerjaan bid’ah seperti melakukan tahlil. Padahal tahlil itu termasuk bid’ah dlolalah, dan kiai tahu bahwa bid’ah dlolalah itu dalam hadits masuk neraka?,” ujar di antara mereka.
Dasar Kiai Nahdliyin mendapat serangan pertanyaan itu, tenang-tenang saja. Lalu dijawab dengan sembari ketawa, sehingga suasana cair dan tidak tegang. Kiai lantas balik bertanya: “Tolong tunjukkan dimana letak bid’ah-nya tahlil? Bukankah bacaan tahlil adalah bacaan Al-Qur’an dan merupakan kalimat thoyyibah?,” Kiai lontarkan pertanyaan ceplas-ceplos.
“Saya tahu bahwa bacaan tahlil adalah dari Al-Qur’an dan kalimah thoyyibah, tetapi Nabi Muhammad kan tidak pernah melakukan susunan bacaan seperti tahlil. Karena itulah, kami menyebut tahlil bid’ah,” jawab kelompok itu.
Kiai pun tak kekurangan akal, dengan arif dan bijaksana kembali melempar pertanyaan: Lho, kalau masalahnya terletak karena Nabi tak pernah menyusun kalimat tahlil. Kalau begitu mushaf Al-Qur’an yang anda baca adalah bid’ah juga dong. Karena susunan surat-surat dan harokatnya tidak terjadi pada zaman Nabi. Mushaf Al-Qur’an kan disusun setelah Nabi wafat. Bahkan titik pada huruf ba’ dan ya juga dilakukan para ulama,” papar Kiai Razi. Mendengar hujjah Kiai Razi, mereka terdiam seribu bahasa. Dengan bijaksana Kiai Razi menyarankan untuk lebih banyak belajar mengaji kitab-kitab peninggalan ulama silam. Setelah mereka menerima secara logika, lalu kemudian Kiai Razi memperkuat dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits. Beliau menjelaskan bahwa bacaan tahlil tidak bid’ah dan sampai pahalanya pada yang meninggal.
Dalil-Dalil Sampainya Pahala Buat Yang Meninggal
Pertama : Nabi bersabda, “Hajilah dulu untuk dirimu, kemudian baru menghajikan Syubrumah”. (HR.Abu Daud). Hadist ini menyatakan bahwa ibadah haji seseorang dapat digantikan orang lain, tentu dengan pahalanya juga.
Kedua : Sebuah Hadits yang artinya, “Dengan nama Allah ! Ya Allah terimalah kurbanku dari Muhammad, dari keluarga Muhammad, dari umat Muhammad”. (HR.Muslim, lihat Shahih Muslim XIII, hal.122). Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi berkurban yang pahalanya untuk beliau, dan sebagian diberikan untuk keluarga beliau, dan sebagian diberikan untuk umat beliau.
Ketiga : Hadits dari ‘Aisyah, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad SAW, dia berkata: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal secara tiba-tiba, andaikan dia dapat bicara (pada saat sakratulmaut) niscaya ia akan bersedekah. Apakah ia (ibuku) akan dapat pahala, jika saya bersedekah untuk menggantikannya? Jawab Nabi: “Ya”. (HR.Imam Muslim, juz XI hal.84)
Ulama besar, Imam Nawawi menjelaskan berdasarkan hadits tersebut, maka dibenarkan bersedekah yang pahalanya untuk yang meninggal, bahkan ini termasuk yang dianjurkan.
Setelah menjelaskan hadits-hadits ini, Kiai Razi pun bertanya kepada para pemuda bercelana cingkrang itu, “Bagaimana dengan tiga dalil ini apakah belum cukup? Kalau merasa belum cukup, akan saya teruskan sebab masih ada 15 lagi hadits yang intinya menghadiahkan pahala kepada yang telah meninggal itu dibenarkan.
Para pemuda itu pun menjawab: “Sudah cukup kiai. Kami baru mengerti kalau ada hadits tentang sampainya pahala untuk orang yang sudah meninggal itu. Apalagi ternyata haditsnya banyak ya. Padahal yang mempersoalkan hanya hafal satu dua hadits saja, itu pun diulang-ulang,” papar anak muda itu sembari tersenyum. “Ya selama ini kami ikut kegiatan usrah dan pengajian di kampus, ustadz kami tidak pernah membacakan hadits itu. Yang dibaca tiap hari hadits tentang bid’ah melulu,” timpal pemuda lainnya dan disambut dengan ketawa gerr.

Tidak ada komentar: