Selasa, Desember 22, 2009

Jangan Pernah Meremehkan Sholat

Meremehkan Shalat Menurut Muthahhari

1348_blog
Ummu Hamidah bercerita kepada Abu Bashir bahwa menjelang wafat, Imam al-Shadiq as memanggil keluarga dan kerabatnya. Setelah semua berkumpul dan duduk di sisinya, Imam membuka mata, memandangi mereka, lalu berkata, “Syafaat kami tidak akan pernah sampai kepada orang yang meremehkan shalat.”
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Imam menghadap Kekasih Agung. Imam tidak mengatakan, “Syafaatku tidak akan sampai kepada orang yang meninggalkan shalat.”
Kita tentu menyadari apa maksud dan tujuan wasiatnya itu. Jadi, apa maksud meremehkan shalat dan siapakah orang yang disebut meremehkan shalat?
Orang disebut meremehkan shalat ketika ia punya waktu cukup untuk mengerjakan shalat dengan baik dan tumakninah tetapi la tidak mengerjakannya. Dia tidak shalat Zuhur atau Asar kecuali setelah matahari hampir terbenam, lalu buru-buru berwudu dan tergesa-gesa shalat, tidak mengerjakan sunah-sunah shalat, tidak tumakninah, terlebih lagi khusyuk. Apakah shalatnya layak disebut shalat? Shalat seperti ini jelas sangat tidak memadai.
Orang yang mau shalat dengan sungguh-sungguh, ia akan bersiap-siap menyambut kedatangannya. Setelah masuk waktu zuhur, misalnya, la berwudu dengan tenang sesuai aturan, lalu berdiri di tempat shalat, lalu azan dan iqamah dengan tenang dan khusyuk. Lalu, ia memulai shalat dengan tumakninah dan menjaganya hingga salam. Setelah itu, la tidak langsung berdiri tetapi berdiam di tempat, membaca wirid, dan berzikir kepada Allah.
Uraian di atas menegaskan nilai penting shalat, terlebih lagi jika dilakukan di rumah bersama keluarga. Sebab, berdasarkan pengalaman, anak-anak tidak akan shalat jika orang dewasa yang tinggal serumah meremehkan shalat. Misalnya, shalat Subuh baru dikerjakan setelah matahari terbit, shalat Asar menjelang Magrib, Isya molor hingga empat jam. Tak hanya molor, ia pun mengerjakannya secara tergesa-gesa.
Oleh Karena itu, kita tidak boleh meremehkan atau menyepelekan urusan shalat, atau merasa cukup hanya mengerjakan wajib shalat, lalu mencari dalih untuk meninggalkan sunah dengan meminta fatwa bagaimana hukum tasbih yang empat, apakah tidak cukup tiga ataukah cukup satu saja.
Dan, orang yang dimintai fatwa pasti akan menjawab, satu pun cukup, tetapi untuk lebih hati-hati, mestinya dibaca tiga kali. Setelah itu, ia membaca tasbih hanya satu kali seraya mengatakan bahwa perbuatannya itu didukung oleh fatwa yang didasarkan atas sumber yang dapat dipercaya.
Sikap seperti ini berarti ‘lari’ dari shalat. Kita harus berpikir lebih bijak. jika mufti mengatakan satu saja cukup, dan selebihnya sunah, kita tetap harus mengerjakan yang sunah jika masih ada waktu. *)
___________________
*) Murtadha Muthahhari, Thaharat al-Ruh, Mu’assasat al-Tarikh al-‘Arabi.Energi Salat, hlm. 105-107, Penerbit Serambi, 2007.
Sudahkah kita shalat seperti apa yang gambarkan di atas oleh al-Syahid Murtadha Muthahhari?
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’,” (QS al-Baqarah :45)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang (shalatnya) ingin dilihat orang, dan enggan (memberikan) barang berguna .” (QS al-Ma’un [107]:4-7)

Tidak ada komentar: