Jumat, Oktober 23, 2009

Humor Ala Santri

Suara Gorengan

Pedesaan
Angin sepoi-sepoi menghembus di daerah pegunungan yang cukup dingin dan menyejukan. Hamparan pegunungan indah, hijau dan luas itu melengkapi indahnya panorama desa yang terkenal dengan petani kentangnya.
Namun daerah ini tampaknya kurang mendapat pendidikan agama. Berdasarkan informasi itulah, sekelompok pengurus pesantren dari luar kota dengan menggunakan mobil mendatangi desa tersebut. Mereka langsung menuju rumah tokoh kampung setempat.
“Assalamu’alaikum”, salam mereka. “Wa’alaikumsalam”, jawab Pak Hari. Setelah mereka dipersilahkan duduk, seorang dari mereka memulai pembicaraan. “Pak Hari, tujuan kami datang ke sini untuk menugaskan para santri kami yang ingin melaksanakan study tour ke desa ini”. “Oh iya saya selaku tokoh di desa ini merasa terhormat dan bahagia dengan kabar ini” ujarnya.
Perbincangan pun makin asyik dan hangat. Kegembiraan diantara keduanya terpancarkan dari wajah dan cara mereka berbicara. Hingga sekitar 3 jam lebih mereka berbincang-bincang, namun tidak ada satupun hidangan yang dikeluarkan. Rombongan dari pesantren ini mulai gelisah.
Di tengah-tengah kegelisahan mereka, Pak Hari berkata. “Bagaimana kalau anda sekalian mendengarkan qosidah yang akan saya bawa”. Kemudian dengan nada kesal seorang diantara mereka berkata. “Maaf pak! Bukannya kami tidak mau mendengarkan suara anda yang merdu itu, tapi kami lebih ingin mendengarkan suara ikan anda digoreng.”
Sumber : Majalah Cahaya Nabawiy no.75

Menteri Tahajjud Siang Malam

heran...
Dalam suatu acara halaqah di sebuah pesantren di Jawa Timur yang dihadiri para Kiai, seorang menteri yang sangat terkenal datang memenuhi undangan panitia. Konon kabarnya, kedatangan menteri tersebut di samping akan memberikan sambutan juga diharapkan bisa memberikan sumbangan ala kadarnya bagi pembangunan di pesantren.
Selang beberapa menit acara dibuka oleh pemandu acara, tibalah saatnya Bapak Menteri mendapat giliran memberikan sambutan. Seperti biasa dalam acara-acara formal setelah memberi salam dan kata penghormatan secukupnya, Pak Menteri itu sampai pada isi sambutannya.
“Saudara-saudara sekalian yang terhormat,” katanya.
“Meskipun Bapak-bapak Kiai yang ada di sini Tahajjud siang-malam belum tentu lebih mulia dari seorang yang mengerti teknologi,” lanjutnya dengan sangat berapi-api.
Sontak, para hadirin dibikin geger dengan sambutan itu. Menit berikutnya para Kiai satu demi satu meninggalkan ruang pertemuan. Mereka tidak mau mendengarkan sambutan Pak Menteri yang rajin Puasa Senin-Kamis itu.
Usut punya usut ternyata ketersinggungan para Kiai bukan karena Pak Menteri sudah melecehkan keberadaan mereka di mata para Santri. Para Kiai tersinggung karena Pak Menteri salah ucap.
“Mana ada Tahajjud siang-malam,” kata seorang Kiai sambil menggerutu.
Diambil dari buku : Tawashow di Pesantren oleh Akhmad Fikri AF.


Suara “TUHAN”

Ya ALLAH
Sejak masih muda KH. Amanullah (Tambak Beras) memang terkenal sebagai santri yang cerdik dan banyak akal. Pada waktu masih muda banyak diantara teman-teman santrinya yang suka menjalankan riyadlah’ dengan melakukan puasa, wirid dan sebagainya. Hal ini dilakukan selain sebagai upaya mensucikan kondisi spiritual (batin) juga sebagai upaya memperoleh berkah dari Allah.
Pada suatu hari ada seorang santri yang sedang melakukan riyadlah (olah rohani). Mengetahui hal ini Gus Aman (panggilan akrab KH. Amanullah) bertanya pada yang bersangkutan: “Kapan sampeyan telasan (berakhir) melakukan riyadlah?” Santri tersebut menyatakan bahwa telasannya malam Jum’at. Mendengar jawaban tersebut Gus Aman menyarankan agar wirid telasan dilakukan di sudut imaman Masjid, agar do’anya makbul.
Pada malam yang ditentukan, santri tersebut benar-benar menjalankan saran Gus Aman. Tepat jam 01.00 malam dia wirid dan berdo’a dengan sangat khusu’nya. Diam-diam Gus Aman ngintip dari lubang ventilasi. Kemudian dengan suara yang dibuat bergetar Gus Aman bilang : “njaluk opo ngger?” (minta apa cucuku).
Mendengar pertanyaan ini sang santri langsung teriak sambil menangis : “Ya Allah, kulo nyuwun ilmu ingkang manfa’at, nyuwun akal ingkang padang, nyuwun rizqi ingkang kathah lan derajad ingkang murwat.” (Ya Tuhan, aku mohon ilmu yang bermanfaat, akal yang jernih, rizki yang banyak dan derajat tinggi).
Dengan bergetar Gus Aman menyahut : “Yoh, tak sembadani!” (Ya, aku kabulkan…)
Saking percayanya terhadap suara tersebut, santri ini langsung sujud dan menangis : “Matur nuwun Gusti, matur nuwun,” (Terima kasih…) teriaknya keras-keras. Setelah itu dia melakukan Shalat Sunnah hingga datang fajar.
Siang harinya, ketika Gus Aman lewat di depan santri tersebut, dengan suara bergetar bilang : “njaluk opo ngger.” Mendengar suara ini santri tersebut baru sadar bahwa semalam dia dipermainkan. Paham kalau diejek kemudian dia mengejar Gus Aman sambil membawa pentung.

Diambil dari buku : Tawashow di Pesantren oleh Akhmad Fikri AF.

Kiai Bisri dan Strategi Kiai Wahab


sapi

Meski sama-sama pemegang fikih yang ketat, Kiai Wahab dan Kiai Bisri berbeda strategi penerapannya. Kiai Wahab cenderung bergaris lunak, sementara Kiai Bisri bergaris keras.
Suatu hari menjelang Idul Adha seseorang datang menghadap Kiai Bisri. Dia bermaksud melaksanakan kurban dengan menyembelih seekor sapi. Namun sebelumnya dia berkonsultasi dulu dengan Kiai Bisri, apakah boleh berkurban seekor sapi untuk 8 orang? Ketentuan fiqih, 1 sapi untuk 7 orang. Padahal jumlah keluarganya ada delapan. dia ingin di akhirat nanti satu keluarga itu bisa satu kendaraan agar tidak terpencar.
Mendengar pertanyaan tersebut Kiai Bisri menjawab “tidak bisa”. Kurban Sapi, Kerbau atau Unta hanya berlaku untuk 7 orang. Kemudian orang itu menawar pada Kiai Bisri, “Pak Kiai, apakah tidak ada keringanan. Anak saya yang terakhir baru 3 bulan”. Dengan menjelaskan dasar hukumnya, Kiai Bisri tetap menjawab, tidak bisa.
Merasa tidak puas, orang itu mengadukan persoalannya kepada Kiai Wahab di Tambak Beras. Mendengar persoalan yang diadukan orang itu Kiai Wahab, dengan ringan menjawab, “Bisa. Sapi itu bisa digunakan untuk 8 orang, Cuma karena anakmu yang terakhir itu masih kecil, maka perlu ada tambahan.” Mendengar jawaban Kiai Wahab orang itu tampak gembira.
“Agar anakmu yang masih kecil itu bisa naik ke punggung Sapi, harus pakai tangga. Sampeyan sediakan seekor Kambing agar anak sampeyan bisa naik ke punggung sapi.”
“Ah, kalau cuma seekor Kambing saya sanggup menambah. Dua ekor pun sanggup asal kita bisa bersama-sama, Kiai.”
Akhirnya pada hari kurban, orang tersebut menyerahkan seekor Sapi dan seekor Kambing pada Kiai Wahab.
Diambil dari buku : Tawashow di Pesantren oleh Akhmad Fikri AF.

Mbah Sungeb dan aji-aji samparang

Di daerah Kandangan Rembang, dulu ada seorang Kiai desa sederhana. Sudah tua tapi aktif sekali. Dimana saja ada peristiwa penting beliau selalu tampak. Misalnya di konferensi NU Wilayah, di muktamar NU. Padahal melihat penampilannya tidak meyakinkan. Sehingga terbetik kepercayaan bahwa Mbah Sungeb mempunyai aji-aji sampar angin.
Suatu ketika, Mbah Sungeb dan beberapa Kiai naik kendaraan umum pulang ke Rembang. Karena kendaraan mogok, mereka terpaksa berjalan kaki. Padahal Rembang masih jauh sekali.
Seorang Kiai ingat, bahwa Mbah Sungeb -konon- punya aji-aji sampar angin. Sambil sama-sama berjalan kaki, Kiai muda itu bertanya, “Kalau pergi ke Situbondo, Semarang, Yogya itu pakai aji-aji apa mbah kok bisa cepat sampai, bisa mendahului yang pakai sedan”. Beliau menjawab seperti sekenanya saja : “li ila”. (ayat li ila fi quraisyin…)
Mendengar itu Kiai lain berkomentar. “Itu tidak ada haditsnya. Yang ada itu Surat Fatihah. Fatihah itu bisa untuk keperluan apa saja. Misalnya kita ingin jalan cepat tanpa capek, baca saja Fatihah.
Kiai lain menengahi. “Begini saja, Mbah Sungeb ini sudah punya “li ila” supaya jalan cepat. Biarkan Mbah Sungeb pakai “li ila”. Sampeyan pakai Fatihah. Nanti saya ikut mana yang paling cepat”.
Baru saja mereka berdebat, tiba-tiba datang seorang anak muda dari belakang naik sepeda motor menegur Mbah Sungeb.
“Mau kemana, Mbah?
“Ke Rembang”
“Mari ikut saya”.
Mbah Sungeb pun lalu membonceng sepeda motor anak muda itu.
Dua Kiai yang lain tetap berjalan kaki. Sambil menahan lelah, Kiai muda tadi bilang kepada temannya, “Ternyata lebih mujarab “li ila”-nya Mbah Sungeb daripada punya sampeyan”.
Diambil dari buku : Tawashow di Pesantren oleh Akhmad Fikri AF.

Gus Politisi yang tak Pintar Ngaji

ngeles ni yey..
Kasus ini terjadi di pesantren salaf yang cukup terkenal. Sebut saja, Pesantren Minhajul ‘Abidin. Sore itu sedikit terjadi ketegangan namun berbau komedi dalam pengajian kitab kuning, yang dibacakan oleh Gus Habiburrahman. Panggilan akrabnya Gus Bur.
Seperti biasa, setiap akan memulai membaca kitab kuning, kiai atau ustadz terlebih dahulu tawassulan. Berkirim do’a fatihah kepada Mushonnif, pengarang kitab dan para guru-guru terdahulu. Sampai di situ semua berjalan lancar dan khidmad.
Gus Bur tampil seperti kiai yang alim baca kitab. Padahal, ia tak pernah nyantri ke pesantren lain. Dia selama ini lebih banyak sekolah umum di luar pondok. Gus Bur pun dikenal sebagai politisi gaek, papan atas. Namun sebenarnya, ia tidak fasih membaca kitab kuning.
Sore itu dia harus membaca kitab, menjadi badal atau kiai pengganti ayahnya, Kiai Mujib yang sedang sakit. “Faslun, utawi iki bab…(adapun ini bab…),” ujar Gus Bur dengan tegas. Lalu, sampailah pada kata atau kalimat dalam kitab yang Gus Bur lupa artinya.
“…al-jaradu, tegasipun lawang (artinya pintu),” kata Gus Bur. Santrinya ada yang paham, Gus Bur salah memaknai kitab. Lalu, seorang santri senior interupsi.
“Maaf Gus, al-jaradu niku maknani pun walang sanis lawang (al-jaradu itu artinya belalang bukan pintu),” tegur santri tersebut.
“Oh inggih leres, maksud kulo walang sak lawang-lawang (ya kamu benar, maksud saya artinya belalang sebesar pintu),” ujar Gus Bur dengan pede-nya.
Kendati suasana sudah gemuruh dengan tawa ria santri, Gus Bur pun meneruskan pengajian. Sampai pada kalimat yang dia juga tidak paham artinya. “Wal Haytu, utawe niku alu (dan adapun itu alu),” kata Gus Bur.
Sekali lagi, santri senior tadi menegor Gus Bur: “Maaf Gus, niku maknani sanis alu sing leres maknani olo (maaf Gus, itu maknanya bukan alu tetapi ular),” kata santri senior.
Kali ini Gus Bur masih terus mengelak, alih-alih mengakui kesalahannya, justru teguran itu diplesetkan : “Inggih leres, maksud ipun olo sak alu-alu (ya kamu benar, maksudnya ada ular sebesar alu),” ucap Gus Bur dengan nada mengelak.
Dua kali Gus Bur ditegur santri, namun ia masih meneruskan bacaan kitabnya. Akhirnya ketika menafsirkan kata an-nafsu, Gus Bur memaknai nafas. Kembali sang santri protes: “Gus, artinya an-nafsu itu ya nafsu, bukan nafas,” tegas santri.
Gus Bur pun kali ini bisa mengelak: “Ya maksudnya nafsu yang keluar lewat nafas,”.
Kali ini, derai tawa santri tak bisa dibendung. Suasana pengajian itu pun akhirnya cair, Gus Bur semakin banyak mengeluarkan bahan lelucon. Bacaan kitab tak diteruskan, Gus Bur banyak bercerita soal kegiatannya di luar pesantren.
(Mukhlas Syarkun)
Sumber : Majalah Risalah NU no.9

Polisi dan Abang Becak


Suatu siang di Kota Dingin Malang, Jawa-Timur terjadi ketegangan antara Pak Polisi dengan abang becak. Pangkalnya? Karena terjadi perbedaan penafsiran tentang rambu lalu lintas di perempatan jalan. Pada ruas jalan arah ke barat, ada rambu yang bergambar becak disilang, artinya becak dilarang melewati jalur tersebut.
Namun tiba-tiba, seorang tukang becak dengan penumpang perempuan gemuk yang sudah tua renta, tanpa tolah-toleh kiri-kanan mengabaikan rambu tersebut. Becak langsung masuk jalur yang dilarang bagi pengemudi becak.
Melihat tindakan abang becak yang nekad itu, petugas polisi yang sudah memperhatikan sejak tadi langsung meniup peluit: pritt… Polisi meneriaki tukang becak agar berhenti. Pak Polisi berlari kecil menghampiri si tukang becak yang sudah menghentikan laju becaknya.
Sejurus kemudian Pak Polisi mengutarakan alasannya menghentikan tukang becak “Abang becak, apa anda tidak melihat rambu lalu lintas di pojok ini, kan itu berarti tidak boleh melewati jalur ini,” ujar Pak Polisi sembari menunjuk rambu lalu lintas tersebut.
Abang becak tadi langsung menjawab spontan: “Lho… gambar becak yang ada pada rambu itu kan becak kosong Pak, tidak ada penumpangnya. Becak saya kan ada penumpangnya, jadi boleh lewat dong Pak,” ujar abang becak spontan merasa dirinya tak bersalah.
Mendengar jawaban abang becak tersebut, Pak Polisi terperangah seperti kehabisan akal. Namun Pak Polisi tetap menegaskan bahwa: “Semua becak baik ada penumpangnya maupun tidak ada penumpangnya dilarang lewat jalur ini, paham abang becak,” tegas Pak Polisi.
“Oh gitu ya Pak, ya minta maaf saja Pak, kita kan gak tau kalau itu artinya tak boleh masuk. Tolong becak saya jangan ditilang ya Pak!,” pinta abang becak ke Pak Polisi tadi.
“Ya, untuk kali ini anda saya bebaskan, lain kali pasti akan saya tindak,” ujar Pak Polisi. “Aboh Pak, kalau tahu Pak Polisi garang kayak sampean, pasti saya tidak akan berani melanggar lagi,” sahut abang becak sambil mendorong becaknya meninggalkan polisi. “Dasar… abang becak” ujar polisi, yang kemudian setelah abang becak menjauh akhirnya tak tahan menahan ketawa gerr.
(Tamziren)
Sumber : Majalah Risalah NU no.7

Kolesterol dan Udang Lobster


Seperti biasa kalau ada hari besar, semisal Maulid Nabi Muhammad SAW warga kampung mengundang da’i kondang untuk memberikan tausiyah kepada jama’ahnya. Tausiyah yang disampaikan kiai kita memang memukau warga kampung. Setelah acara usai, tiba saatnya untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan.
Hidangan yang disuguhkan untuk kiai disediakan tempat khusus dengan menu istimewa. Selain daging sapi dan kambing, tersaji pula seonggok udang lobster. Tuan rumah pun akhirnya mempersilahkan kepada kiai untuk menikmati hidangan yang ada.
“Mari nikmati yang kami sediakan termasuk udang lobster yang sudah dikasih bumbu istimewa untuk kiai,” ujar tuan rumah yang kebetulan seorang pengusaha besi tua yang dikenal sukses itu.
Belum menunjuk pada menu yang lainnya, sang kiai langsung menjawab: “ Waah… minta maaf lho Pak Haji, saya harus menghindari makanan yang mengandung kolesterol. Jadi saya tidak boleh menyantap udang lobster ini,” ujar kiai berusaha memahamkan Pak Haji.
Pak Haji pun tak kalah akal berusaha meyakinkan kiai bahwa semua menu makanan yang disajikan tidak beresiko membahayakan bagi kesehatan kiai. “Ya… kolesterolnya tidak usah dimakan kiai, dimakan udangnya saja ya,” ujar Pak Haji memberi penjelasan.
Nampaknya Pak Haji tidak memahami bahwa yang dimaksud kiai adalah ikan yang mengandung kolesterol itu adalah udang. Disangkanya oleh Pak Haji, kolesterol itu jenis ikan lain yang terpisah dari udang lobster.
Kiai berusaha menahan tawa dan memperlihatkan sikap yang wajar supaya tidak menyinggung perasaan tuan rumah. Namun, tamu-tamu Pak Haji yang berada di sekitar kiai tidak kuat menahan tawa. Salah satu dari mereka menjelaskan kepada Pak Haji, kalau kolesterol itu adalah zat yang menempel di udang lobster. “Oh… gitu toh, kok kamu tak memberi tahu saya sejak tadi,” kata Pak Haji kepada tetangganya yang memberi tahu itu. Suasana akhirnya ceria karena ketawa gerr lepas semua.
(Solihin)
Sumber : Majalah Risalah NU no.7

Nikahi Gadis se-Kampung tak Boleh…


Bagi santri Pesantren Nurul Hasanah, menjadi rutinitas setiap akhir tahun, pesantren mengadakan acara bertajuk “Akhiru as-Sanah”. Kali ini yang menjadi istimewa adalah pelepasan kelas III Aliyah setempat.
Pagi menjelang siang, lokasi acara sudah mulai ramai. Tak lama kemudian, kursi-kursi sudah penuh, bahkan ada tamu undangan yang tidak kebagian kursi. Acara langsung dimulai. Sampailah pada acara tausiyah atau petuah-petuah dari Pengasuh Pesantren setempat, KH. Abdul Adim Bafaqih Almandury. Seperti biasa, Kiai Adim dalam ceramahnya selalu tampil renyah dengan dalil-dalil agama untuk bekal-bekal santri.
Dengan menarik nafas panjang, Kiai Adim tampil wibawa berpesan pada santrinya: “Entar kalian semuanya, kalo udeh pada pulang ke kampungnya masing-masing dan mungkin sebagian ada yang akan menikah. Pesan saya, khususnya kepada yang akan menikah, agar jangan menikah dengan gadis sekampung”.
Karuan suasana menjadi gaduh, antar santri saling bisik-bisik dan sebagian lagi rupanya mempersoalkan statement pengasuh pesantren. “Mengapa Ustadz melarang menikahi gadis sekampung, padahal kan di dalam kitab-kitab fiqih menikah dengan gadis sekampung diperbolehkan?,” tanya Mardi pada teman santri sebelahnya.
“Eh gimana nih ya, kok kiai kita bilang gak boleh nikah ama gadis sekampung, padahal ane uda tunangan ama anak kampung sendiri,” gerundel Toni pada temannya.
Usai acara ramai-ramai para santri mendatangi Kiai Adim untuk tabayyun. “Kiai apa benar yang dikatakan kiai tadi?”, tanya seorang santri mewakili yang lain. Kiai Adim tenang saja menerima cecaran pertanyaan santrinya, dengan tenang beliau menjawabnya: “Gini ya, adik-adik… masa sih kalian mau mengawini gadis sekampung? Gadis satu kampung kan banyak buanget, apa kalian sanggup memberi nafkah kepada mereka semua? Apalagi Islam kan melarang menikahi wanita lebih dari 4 orang,” ujar Kiai Adim. “Oh begitu maksud Kiai… kirain ndak boleh ama tetangga sendiri,” ujar santri hampir serempak dan gerr, mereka ketawa semua.
(Tamzirien)
Sumber : Majalah Risalah NU no.5

Lagu Boneka India, dikira Indonesia Raya


Pagi itu, tahun 60-an, lapangan upacara sudah dipenuhi berbagai pasukan, mulai dari kepolisian, tentara, dan pasukan lainnya seperti instansi pendidikan mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Setelah masing-masing barisan merapikan pasukannya, tak lama dari kejauhan terdengar: “tuit…tuit…tuit…” suara sirine mobil mengejutkan semua peserta. Ternyata yang turun dari mobil dinas adalah seorang jenderal berbintang dua.
Suasana Lapangan Banteng sontak siaga. Maklum pagi itu akan diselenggarakan upacara memperingati detik-detik proklamasi. Dari kejauhan komandan upacara dengan suara lantang dan tegas memberi aba-aba mengatur barisan, mulai dari sisi kiri dan kanan.
Dengan langkah tegapnya, sang jenderal menuju tempat upacara. Masing-masing pasukan mengatur barisannya, karena upacara akan dipimpin oleh seorang jenderal. Kira-kira pukul 10.00 WIB, para peserta upacara menyambut kedatangan jenderal. Upacara pun segera dimulai.
Akhirnya upacara berlangsung. Pertama-tama komandan upacara memberikan laporannya kepada sang jenderal selaku pemimpin upacara bahwa upacara siap dimulai. Dilanjutkan dengan penghormatan peserta upacara kepada pimpinan upacara oleh komandan upacara. Setelah penghormatan, dilanjutkan dengan pembacaan UUD 1945. Suasana pun semakin tegang ketika pemimpin upacara membacakan naskah teks Pancasila. Selang beberapa menit kemudian, komandan memberikan aba-aba penghormatan kepada pengibaran bendera sang saka merah putih sambil diiringi oleh lagu Indonesia Raya.
“Kepada sang saka merah putih hormat… gerak!” suara komandan terdengar nyaring hingga kejauhan. Kelompok paduan suara langsung mengambil suara, iindo…do… dipimpin seorang dirigen. Di samping tribun petugas pemutar lagu yang berpangkat kopral siap-siap menyetel lagu pengiringnya. Sang kopral yakin kalau lagu yang ada di piringan hitam itu adalah lagu Indonesia Raya. Jenderal pun memberikan aba-aba dengan suara lantang. “Kepada sang saka merah putih, hormat….. gerak!”. Setelah lagu diputar, serentak kondisi menjadi ricuh dan gaduh. Upacara yang semula direncanakan berjalan dengan khidmat untuk mengenang hari kemerdekaan RI ternyata diwarnai dengan gelak tawa. Ada peserta yang hormat sambil menggoyangkan ibu jarinya. Bahkan ada yang menggoyangkan pinggulnya. Ternyata sumber kegaduhan itu berasal dari piringan hitam di sebelah tribun utama yang diputar oleh sang kopral. Lagu yang semula dikira Indonesia Raya karya WR. Supratman, ternyata lagu dangdut Melayu Boneka cantik dari India….. Boleh dipegang….. tak boleh dibawa…..
Mendengar lagu yang diputar keliru, sang kopral lari tunggang langgang ketakutan dari arena upacara dan lagu dangdut Boneka cantik yang dinyanyikan oleh Eliya Kadam terus berlangsung hingga selesai. Melihat kejadian itu akhirnya komandan upacara bingung dan berteriak dengan lantang, “Bubarrr… jalan…!!!”.
(Lintang Marisa)
Sumber : Majalah Risalah NU no.4

Tidak ada komentar: